Senyum meruncing seakan hendak membelah kedua pipinya yang padat kala dia tersenyum. Rambut hitam nan panjang yang nyaris selalu dibiarkan terurai, menggoda angin untuk menghembuskan dan menjadikannya terlihat semakin bergelombang. Juga selalu dapat kucium aromanya, wangi bahan kimiawi yang bercampur dengan bau alami rambut itu sendiri. Jemari kecilnya senantiasa terlihat mengajak jari ku untuk terus menggenggamnya, seakan meminta perlindungan dari lenganku yang lebih besar darinya. Kulit yang coklat mengeksotiskan keberadaan dirinya yang terlihat semakin berkilau di bawah terjangan sinar mentari. Dan matanya, dua mata terindah yang pernah kusadari. Harus kukatakan aku adalah pengagum kedua benda itu. Oh, segala keindahan manusiawi itulah yang akan selalu terekam dalam memori alam sadarku juga memicu munculnya satu rasa saat tak bersama. Rindu.
Sudahkah kau makan, tanyanya melalui sebuah pesan singkat. Kepedulian yang ditunjukan dari hal-hal yang kecil. Jangan pulang larut malam nanti jadi capek dan tak bisa kerjakan tugas, pesannya yang lain. Posesif? Lebih baik dari pasif. Penghargaan keberadaanku dalam hidupnya, seperti itulah cara manisnya. Kemanja-manjaan, walau tak semanja saat dia masih kecil. Mungkin terlihat menyebalkan, namun jujur, itulah yang paling kunanti darinya. Bagaimanapun ia begitu mandiri, tanggung jawab sebagai sulung dari tujuh bersaudara benar-benar telah menempa karakter dan sikapnya menghadapi dunia. Sesungguhnya bukan ia yang harus memikul tanggung jawab itu, namun takdir menyuratkan kisah lain baginya. Hampir dapat kurasakan kesedihannya, tapi aku akan tetap menjadi orang lain baginya. Oh, segala yang ada padanya itulah yang akan melecutkan ku untuk terus-menerus menjaganya, sampai selama yang aku mampu.